Rabu, 18 November 2009

ISLAM PEWARIS SAINS MODERN

0 komentar

Judul buku : Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern
Penulis : Ehsan Masood
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama : 2009
Tebal : 183 halaman

Oleh: Muhammad Rajab*

Islam di abad pertengahan mengalami kemajuan peradaban yang luar biasa. Sehingga dapat dikatakan zaman tersebut adalah zaman keemasan Islam. Pasalnya, Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu menjadi kebanggaan umat Islam seluruh dunia. Bahkan tokoh Barat pun mengakui akan kemajuan peradaban Islam saat itu.

Salah satu pengakuan tersebut disampaikan oleh Pangeran Charles dalam pidatonya di Oxford University, 27 Oktober 1993. Dia mengatakan, “bila ada banyak kesalahpahaman di dunia Barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang utang kebudayaan dan peradaban kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupnya sejarah yang kita warisi selama ini”. (halaman 1)

Warisan sains Islam zaman pertengahan yang paling dikenal hingga saat ini sistem angka Arab. Sistem Angka yang juga digunakan di negara-negara barat ini mengalahkan sistem angka Romawi. Namun buku yang ditulis oleh Ehsan Masood ini menunjukkan bahwa sains Islam jauh lebih hebat dari hanya sistem Angka, dan bahkan sangat berpengaruh sehingga menjadi dasar sains Eropa Barat yang muncul belakangan.

Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Zarqali, dan masih banyak lagi ilmuwan muslim lainnya begitu terkenal di dunia ilmiyah Eropa karena karena karya-karya mereka menjadi acuan sains Eropa. Buku al-Qanun Fi al-Thibb karya Ibnu Sina menjadi standar sejumlah universitas di Eropa selama berabad-abad. Buku al-Kitab al-Mukhtasar Fi Hisab al-Jabr Wal Muqabala karya Al-Khawarizmi menjadi dasar aljabar modern.

Dalam buku yang berjudul Science and Islam A Histoy oleh Ehsan Masood yang diterjemahkan menjadi Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern ini memperlihatkan mengapa imperium Islam berhasil memajukan sains sehingga menghasilkan karya-karya yang menakjubkan bahkan untuk ukuran masa kini. Dan lewat buku ini pula kita bisa mengetahui bahwa keyakinan agama dan ajaran agama bisa menjadi pendorong kemajuan sains Islam dalam banyak disiplin Ilmu.

Penulis buku ini memandang bahwa kemajuan Islam saat itu dipengaruhi oleh pandangan umat Islam terhadap sains modern. Yang mana ketika itu Islam mempunyai hubungan yang erat dengan sains modern. Kebutuhan agamalah yang telah membantu perkembangan pengetahuan yang baru. Dan saat berbagai sains mulai berkembang, para pemuka agamalah yang mendorong para ilmuwan pertama untuk menggunakan standar yang sama untuk membuktikan keabsahan hasil karya ilmiyahnya.

Hal ini kemudian dibuktikan dengan kemajuan Islam yang dahsyat saat itu dalam bidang sains modern yang saat ini banyak dikembangkan oleh Barat. Sebagai contoh adalah ahli fisika yang tinggal di Kairo bernama Ibnu al-Nafis telah menemukan sirkulasi paru-paru, pada abad ke-13. Insinyur Andalusia Abbas bin Firnas telah menemukan teori penerbangan dan diyakini telah melakukan percobaan terbang yang sukses enam abad sebelum Leonardo menciptakan ornitopternya yang terkenal. Dan di Kufah, Irak, Jabir bin Hayyan (dilatinkan menjadi Geber) adalah seorang yang meletakkan dasar-dasar ilmu kimia sekitar 900 tahun sebelum Boyle.

Lalu ada juga Hasan Ibnu al-Haitsam ahli fisika eksperimental abad ke-11 yang memperbaharui pemahaman kita mengenai indera penglihatan dan diakui menjadi pelopor penciptaan alat penangkap gambar (camera obscura) selain menulis dan meneliti pergerakan planet.

Selain itu, dalam buku yang diterjemahkan oleh Fahmy Yamani ini kita juga akan bertemu dengan para pelindung atau yang mendorong para ilmuwan tersebut untuk berkarya. Kalifah dan gubernur seperti Al-Ma’mun dan Dinasti Abbasiyah Sunni dan Al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah Syi’ah yang memerintah Kairo mulai tahun 996 samapai 1021 M. Dan masih banyak lagi penguasa yang memperkerjakan para penasehat sains pribadi, membangun perpustakaan dan observatorium dan bahkan secara langsung mengambil bagian dalam berbagai percobaan sains.

Tenryata tidak hanya di bidang sains Islam berkembang saat itu, Islam juga mengalami kemajuan dalam hal pemikiran yang semuanya sebenarnya memberikan pengaruh terhadap pemikian umat Islam sehingga umat Islam bisa maju di berbagai aspek. Misalnya, muncul pemikir dan ahli agama bernama Abu Hamid Al-Gazali yang menulis polemik sangat terkenal, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Dan banyak lagi pemikir Islam seperi Ibnu Rusyd, Alfarabi, Ibnu Khaldun dan lain sebagainya.

Buku yang ditulis oleh Ehsan Masood ini hakekatnya membongkar hutang Barat terhadap dunia Islam yang berupa sains modern. Pasalnya, pasca perang Salib buku-buku umat Islam dihancurleburkan oleh kaum Kristiani kemudian mereka mengambil buku-buku yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan sains dan dikembangkan di dunia Eropa.

Selain itu, buku ini juga berusaha memberi pencerahan kepada umat Islam sekarang, bahwa Islam sebenarnya sangat akrab dengan ilmu pengetahuan. Pasalnya, umat Islam saat ini banyak yang memandang sebelah mata terhadap ilmu pengetahuan dan sains modern. Mereka lebih senang kalau hanya berdiam diri di masjid beribadah kepada Allah daripada melakukan penelitian-penelitian yang memberikan pencerahan kepada seluruh manusia. Padahal ibadah tidak hanya diam di masjid, melakukan penelitian pun yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat termasuk dari bagian ibadah.

Menariknya, buku yang menjelaskan gambaran keemasan imperium Islam abad pertengahan ini disertai denga bukti-bukti gambar atau foto sejarah yang menjadi penguat pembahasannya. Dan Pembaca akan lebih dalam lagi mengetahui akan kejayaan Islam dengan menelaah buku ini secara komprehensip. Sehingga, sudah selayaknya buku ini menjadi konsumsi umat Islam sekarang, baik dari kalangan akademisi atau masyarakat luas.

Kamis, 12 November 2009

REFORMASI HUKUM SUATU TUNTUTAN

0 komentar
REFORMASI HUKUM SUATU TUNTUTAN
Judul Buku : Reformasi Hukum; Rekontruksi Kedaulatan Rakyat dalam
Membangun Demokrasi
Penulis : Sulardi, SH., MH.
Penerbit : Intrans Publishing
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Tebal : 192 halaman
Peresensi : Muhammad Rajab*
Buku ini ditulis berangkat dari keprihatinan penulis atas belum terselesainya reformasi hukum di Indonesia. Proses reformasi ini diawali dengan lengsernya Soeharto dari kursi presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998 oleh gerakan reformasi yang muncul dari kampus. Gerakan yang dipelopori mahasiswa tersebut patut diacungi jempol. Pasalnya, tanpa gebrakan dari gerakan pada 1998 lalu, ke-otoriteran Soeharto dalam memimpin bangsa tak akan pernah usai.
Adapun yang melatarbelakangi gerakan dahsyat mahasiswa ini adalah satu kalimat pendek yaitu tidak puas. Tidak puas terhadap kondisi dan situasi yang ada saat itu. Ketidakpuasan itu utamanya terletak pada tiga hal, yakni demokrasi yang mandeg, ekonomi yang limbung dan hukum yang tidak berdaya.
Dalam buku Reformasi Hukum; Rekontruksi Kedaulatan Rakyat dalam Membangunn Demokrasi, Sulardi menyatakan bahwa dalam gerakan mahasiswa ini tidak terlihat adanya pamrih pada diri mahasiswa untuk memperoleh sesuatu, baik secara kelompok maupun individu. Pamrih dari gerakan ini hanya satu yaitu kesejahteraan rakyat. Karena bila dicermati topik yang diangkat dari gerakan mahasiswa ini bermula dari beban rakyat yang begitu tidak tertahankan lagi dikarenakan melambungnya harga sembako, banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga masalah yang peka misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Buku yang ditulis oleh Sulardi alumni Magister Hukum Universitas Gajah Mada ini sangat responsif. Dalam artian buku ini merupakan satu jawaban terhadap problematika hukum yang berkembang saat ini. Di mana reformasi hukum di Indonesia masih belum selesai. Jalan untuk menuju reformasi hukum secara komprehensif masih panjang.
Belum tercapainya reformasi hukum, berawal dari amandemen UUD 1945 yang tambal sulam dan tanpa arah, sehingga pergumulan politik sangat sengit antara pandangan bahwa UUD 1945 kebablasan dan hasil amandemen yang belum memadai, sehingga muncul wacana untuk amandemen UUD 1945 lagi, atau kembali ke UUD 1945 sebelum diamandemen.
Di Indonesia hukum masih belum dimaknai sebagaimana mestinya, hukum dipandang sebagai kepentingan kalangan tertentu yang bermodal kekuasaan dan uang, hukum belum dimaknai untuk kepentingan umat manusia. Hal ini merupakan salah satu indikator akan belum usainya reformasi hukum di Indonesia.
Buku ini lebih menegaskan lagi tentang pentingnya reformasi hukum di Indonesia. Pasalnya reformasi hukum saat ini merupakan kelanjutan gerakan reformasi mahasiswa 1998 lalu. Yang mana saat itu kekuasaan rezim Soeharto bertindak semena-mena terhadap rakyat. Salah satunya adalah penculikan para aktivis di Tanjung Priok.
Ada beberapa pembahasan penting dalam buku ini. Di antaranya pada bagian pertama dipaparkan pemaknaan kedaulatan rakyat. Secara historis upaya akan kedaulatan rakyat itu terus dilakukan. Sebagai contoh, Plato (429-347 S.M) yang beranggapan bahwa kedaulatan rakyat dapat terwujud dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh orang yang bijaksana, sehingga ia sangat menganjurkan agar pemerintahan itu dilakukan oleh filosof yang diyakininya bisa bertindak bijaksana.
Sementara menurut John Locke (1632-1704) untuk tercapainya kedaulatan rakyat maka kekuasaan yang ada dalam negara harus dipisahkan ke dalam dua aspek kekuasaan. Hal ini senada dengan pemikiran dari Motesquieu yaitu merumuskan tentang Trias Politica di mana memisahkan kekuasaan ke dalam tiga aspek, aspek legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sedangkan pemerintah Indonesia secara formal mengakui bahwa kekuasaan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Oleh karenanya menurut Usep Ranuwijaya, segala putusan lembaga ini tidak bisa dibatalkan oleh lembaga negara yang lain. Bahkan kini lebih diperkuat, dengan kalimat bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan berdasarkan Undang-undanng Dasar (UUD).
Dan yang tak kalah pentingnya adalah pada bagian akhir buku ini dijelaskan gagasan bagaimana Indonesia ke depan supaya menjadi negara yang lebih baik. Yang meliputi perlunya melakukan rekontruksi atas negara Indonesia, memaknai pemimpin, demokrasi, hingga reposisi keberadaan yudisial.
Misalkan saja, dalam pemaknaan demokrasi. Dalam buku ini dijelaskan, bahwa sejak negara Indonesia berdiri secara formal dapat diketahui bahwa negara ini adalah negara domokrasi. Bisa dilihat dalam UUD 1945 pasal 2 ayat 3 bahwa, ”kekuasaan tertinggi tertinggi di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Juga berdirinya lembaga legislatif berupa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menambah kejelasan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam hal ini gagasan utamanya adalah bagaimana mengembalikan suara sepenuhnya kepada rakyat dan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan partai politik tertentu.
Sehingga dengan demikian, buku ini merupakan satu jawaban terhadap situasi hukum yang ada saat ini. Hal ini sebagai sebuah tuntutan untuk menyempurnakan gerakan reformasi mahasiswa pada 1998 lalu terhadap rezim Soeharto. Untuk lebih jelasnya pembaca bisa menelaah lebih mendalam tentang bagaimana seharusnya reformasi hukum ke depan di Indonesia. Ini dimaksudkan agar pembaca bisa mendapatkan wawasan secara komprehensif terhadap gagasan-gagasan inovatif dalam menjadikan Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.

Pendidikan dan Ekonomi Bangsa

0 komentar
Oleh: Muhammad Rajab*

Profesor Toshiko Konisuta, guru besar Waseda Unibersity Jepang, dalam suatu kesempatan bergengsi mengemukaakan, bahwa sember daya manusia (SDM) Indonesia sangat lemah untuk mendukung perkembangan ekonomi dan indutri. Hal ini disebabkan karena pendidikan tidak diletakkan sebagai panglima. Selama ini dari para polikus dan masyarakat awam hanya berorentasi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir panjang. (Sismono: 2006)
Kritikan tersebut tak mungkin dikemukakan tanpa sebab yang jelas. Karena pada kenyataannya Indonesia benar-benar mengalami krisis multidimensional. Krisis yang sudah bertahun-tahun menggerogoti bangsa. Yang berawal dari krisis moneter hingga akhirnya menjalar ke seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan krisis moral pun sudah mulai merajalela di berbagai penjuru Indonesia.
Padahal Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya alam (SDA). Akan tetapi hal itu menjadi percuma jika Indonesia tidak mempunyai SDM yang bagus dan mumpuni. Sebab untuk mengelola SDA yang ada tersebut dibutuhkan manusia yang benar-benar kompeten dan professional dan mempunyai kemampuan yang mantap. Sementara SDM yang ada di Indonesia saat ini sangat lemah.
Maka jika ada yang bertanya, di manakah letak kekuatan suatu bangsa?. Maka tak salah jika sebagian ada yang mengatakan, kekuatan terbesar terletak pada kualitas SDM nya. Khususnya di era globalisasi yang selalu penuh dengan persaingan antarnegara. Karena saat itu wilayah bukanlah pembatas seseorang untuk mengakses berbagai macam informasi dan semua mempunyai kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya di manapun berada.
Indonesia selama ini masih terbelakang di beberapa bidang di berbagai Negara. Lihatlah laporan Human Development Index (HDI) Indonesia yang dibuat oleh United Nation Development Programme (UNDP) tahun 2005 yang dikutip Sismono, Indonesia ditempatkan pada peringkat 110 dari 177 negara, di bawah Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Brunai dan Singapore yang sesame Negara ASEAN. Vietnam berada di urutan 108, Filipina urutan ke-84, Thailand urutan ke-73, Malaysia urutan ke-61, Brunai Darussalam urutan ke-33, dan Singapore urutan ke-25.
Data HDI ini diukur dari indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks perekonomian. Artinya bahwa faktor pendidikan menjadi faktor tepenting yang menentukan HDI Indonesia. Memang benar pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Misalnya data Depdiknas tahun 2005 tentang angka putus sekolah yang mencapai 1.122.742 anak dan angka buta aksara di Indonesia mencapai 15.414.211 orang.
Data di atas menunjukkan akan lemahnya pendidikan Indonesia. Yang jelas hal itu akan membawa pengaruh terhadap peradaban bangsa Indonesia itu sendiri, khususnya dalam perubahan moral sosial dan ekonomi masyarakatnya. Menurut Arifin (2007), pendidikan merupakan faktor yang paling efektif untuk perubahan sosial manakala pendidikan masyarakat tersebut ditingkatkan, diefektifkan, dikonstruksi dengan baik. John Dewey juga mengungkapkan hal yang sama, pendidikan adalah metode fundamental untuk memajukan dan memperbarui masyarakat.

Penentu ekonomi
Bukan berarti orang yang berijazah tinggi di sini akan memperoleh ekonomi yang layak. Akan tetapi yang dimaksud pendidikan di sini, pendidikan yang bermakna luas, baik pendidikan formal, non formal maupun informal dan bukan hanya terbatas pada pendidikan di sekolah. Hal ini memang perlu dipahamkan kepada masyarakat, karena selama ini banyak orang yang menganggap pendidikan hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah saja. Padahal pendidikan formal tidak terlalu signifikan dalam menentukan tarif ekonomi yang layak ketika sudah kerja.
Kebanyakan masyarakat yang sukses dalam memnempuh kariernya dalam bisnis adalah mereka yang benar-benar banyak memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar di luar sekolah. Sebab, untuk membangun ekonomi yang baik tidak terlalu mengandalkan kecerdasan intelgensi (IQ), akan tetapi lebih banyak pada kecerdasan emosionalnya (EQ).
Dalam teori pendidikan juga disebutkan bahwa ranah pendidikan bukan hanya pada pengembangan IQ saja. Seperti yang diungkapkan oleh Bloom, bahwa ada tiga ranah yang perlu dicapai oleh pendidik, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Teori yang sama juga dikatakan oleh Ary Ginanjar, ada tiga kecerdasan manusia yang perlu dikembangkan dan masing-masing mempunyai peran yang signifikan dalam pengembangan potensi dirinya, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam dunia kerja, kecerdasan IQ bukanlah andalan satu-satunya yang dibutuhkan. Akan tetapi lebih pada penkeanan kecerdasan emosional dan spiritualnya. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk mempunyai pengalaman yang banyak dalam hal bisnis (berdagang) demi membangun ekonomi yang layak di masa depan.
Menurut Djohar (dalam Jamila: 2007) bahwa berdasarkan penelitian, pendidikan selama ini baru berada pada taraf pengembangan kemmpuan kognitif, yang sifatnya mengembangan fungsi reproduktif. Pendidikan belum mampu membangun etos kerja, jati diri dan percaya diri, untuk menghadapi masalah-masalah yang nyata di masayakat.
Hal ini juga terbukti dengan adanya Ujian Akhir Nasional (UAN) yang mengedepakan nilai-nilai nominal (angka) yang tertulis di atas kertas saja. Kelulusan siswa ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai ujian akhirnya. Padahal ujian yang demikian hanya menyentuh aspek kognitifnya saja. Ironis lagi, tak jarang ditemukan kecurangan-kecurangan dalam mengerjakan soal-soal UAN, misalnya guru memberikan jawaban kepada siswanya. Yang demikian itu tentunya dapat merusak nilai-nilai kemandirian siswa dalam enyelesaikan sebuah masalah, sehingga pada akhirnya dapat berefek pada masa depan siswanya, khususnya dalam ekonomi.
Untuk membangun ekonomi yang baik di masa depan, saat ini bangsa membutuhkan pendidikan kemandirian. Dengan pendidikan kemandirian terhadap siswa diharapkan di masa depan ia tidak bergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan suatu masalah dan dalam mengembangan kualitas ekonomi bangsa. Sehingga potensi SDA Indonesia yang melimpah tidak disia-siakan dan diberikan kepada orang lain (orang asing). Dan pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kembali pendidikan bangsa, dan mempioritaskan pendidikan di antara aspek-aspek yang lain, karena pendidikan adalah penentu kualitas ekonomi di masa depan.

Followers

 

Bersama Membangun Bangsa. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com