Selasa, 16 Maret 2010

AHLU SUNNAH


Disusun oleh M. Rajab
KHALAF:

Ahlu Sunnah (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi)

Istilah khalaf biasanya digunakan untuk merujuk kepada para ulama yang lahir setelah abad ke-3 H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, di antaranya tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Sedangkan ungkapan ahlu sunnah yang sering disebut dengan Sunni, dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang digunakan dalam pembahasan makalah di bawah ini.

1. Al-Asy’ari
a. Riwayat Berdirinya
Asy’ariyah muncul sebagai status aliran teologi Islam yang dapat dikatakan sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah yang bersifat rasional, liberal, nautral, falsafi dan sikap kekerasan mereka dalm mengembangkan ajarannya tentang kemakhlukan al-Quran. Aliran ini dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-9 35 M) sebagai orang yang pertama menentang Mu’tazilah.
Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad tahun 935 M. pada mulanya ia adalah murid dari al-Jubai dan salah seorang yang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga al-Jubai berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Menurut Ibnu Asakir, ayah al-Asy’ari berasal dari orang yang paham ahlu sunnah dan ahli hadits. Dia wafat ketika al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat ia berwasiat kepada salah seorang sahabatnya yang bernama Zakariyah bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Setelah suaminya meninggal Ibu Al-Asy’ari menikah lagi dengan tokoh mu’tazilah yaitu Abu Ali al-Jubba’i, ayah kandung Abu Hasyim al-Jubba’i. Berkat dengan didikan ayah tirinya itu al-Asy’ari menjadi tokoh mu’tazilah. Dia sering menggantikan ayah tirinya dalam perdebatan untuk melawan para penentang mu’tazilah dan dia banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham mu’tazilah hanya sampai berusia 40 tahun. Setelah itu secara mendadak ia berfatwa di depan para jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham mu’tazilah dan kini menjadi latar belakang al-Asy’ari. Alasan yang disampaikan bahwa dia telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali yaitu pada malam ke-10, 20 dan 30 pada bulan Ramadhan. Dalam mimpinya itu Rasulullah mengingatkan untuk meninggalkan mu’tazilah dan membela paham yang telah diriwayatkan oleh beliau.
Dalam tulisan Madarik Yahya, dijelaskan bahwa antara al-Jubba’i dengan al-Asy’ari terjadi perdebatan sengit. Di antara perdebatan-perdebatan tersebut ialah mengenai soal al-ashlah (keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan):
al-Asy’ari : Bagaimana pendapat anda tentang orang mukmin, orang kafir
dan anak kecil (yang mati)?
al-Jubbai : Orang mukmin mendapat tingkatan yang tertinggi (surga), orang
masuk neraka. dan anak kecil tergolong orang selamat.
al-Asy’ari : Jika anak kecil tersebut ingin mencapai tingkatan tertinggi,
bisakah dia?
al-Jubbai : Tidak bisa. Karena akan dikatakan kepada :“Orang mukmin itu
mendapat tingkatan tertinggi karena ia menjalankan ketaatan,
sedangkan engkau tidak”
al-Asy’ari : Anak kecil akan menjawab :”Itu bukan salah saya. Kalau
seandainya Tuhan menghidupkan saya, tentu saya akan
mengerjakan ketaatan sebagaimana orang mukmin.”
al-Jubbai : Tuhan berkata :”Aku lebih tahu tentang dirimu. Kalau kau hidup
sampai besar, tentu akan mendurhakai Aku dan Aku akan
menyiksamu. Jadi, Aku mengambil yang lebih baik bagimu dan
engkau Ku-matikan sebelum dewasa.“
al-Asy’ari : Kalau orang kafir itu berkata :“Ya Tuhan, Kau tahu keadaanku
dan keadaan anak kecil itu. Mengapa terhadapku, Kau tidak
mengambil tindakan yang lebih baik ?“
Kemudian al-Jubbai terdiam tidak dapat menjawab.
Ada dua hal yang melatarbelakangi keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah, yaitu, pertama, karena merasa tidak puas dengan konsep aliran tersebut dalam soal-soal seperti yang diatas. Kedua, melihat perpecahan di kalangan kaum muslimin yang akan mengakibatkan lemahnya mereka, jika tidak segera diakhiri, al-Asy’ari sangat khawatir apabila al-Quran dan Hadits Nabi menjadi korban faham-faham Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan. Ketidakbenaran itu karena didasarkan atas pemujaan akal, sebagaimana juga akan menjadi korban sikap ahl al-Hadits (antropomorpis/al-hasywiyah) yang hanya memegang lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwa dan hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan.

b. Pemikiran dan Doktrin Al-Asy’ari
1. Sifat-Sifat Tuhan
Menurut al-Asy’ari, Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan ilmu-Nya dan ilmu-Nya bukanlah zat-Nya. Sifat-sifat tersebut tidaklah identik dengan zat-Nya, tetapi tidak pula berbeda dengan zat-Nya. Sifat-sifat tersebut adalah ril walaupun tidak diketahui bagaimananya.
Dalam referensi lain disebutkan, al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang sudah dijelaskan dalam al-Quran, seperti mempunyai tangan dan kaki, akan tetapi tidak boleh diterjemahkan secara harfiyah melainkan secara simbolis. Kemudian al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik karena tidak bisa dibandingkan dan disamakan dengan sifat-sifat manusia walaupun tampaknya mirip.
Menurut Harun Nasution, al-Asy’ari berpendapat, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan-Nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
2. Iman dan Kafir
Konsep al-Asy’ari tentang iman dan kufur bertolak belakang dengan konsep Mu’tazilah. Menurut Asy’ariah iman hanya tashdiq pada Allah saja, sedangkan menurut al-Bagdadi iman adalah tashdiq kepada Allah dan Rasulnya dan berita yang mereka bawa. Walaupun Asy’ariah mengakui ada tiga unsur keimanan yaitu tashdiq, ikrar dan amal, akan tetapi yang pokok adalah tashdik, sedang ikrar dan amal hanya cabang. Tegasnya ikrar dan amal bukanlah esensi dari iman. Adapun kafir adalah orang yang mendustakan Allah dan Rasulnya serta kebenaran yang mereka bawa. Dengan kata lain kafir adalah orang yang tidak mengucapkan pengakuan dua kalimat sahadat. Mengenai orang Islam yang melakukan dosa besar Asy’ariah mengambil pendapat Murji’ah, yaitu menangguhkan persoalannya kepada Allah di akhirat (yaumul hisab).
Menurut aliran Asy’ariyah, dijelaskan oleh Syahrastani, iman secara esensial adalah tashdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
3. Akal dan Wahyu
Walaupun al-Asy’ari dan mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menyikapi dua hal ini yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Mu’tazilah mengutamakan akal dan al-Asy’ari mengutamakan wahyu. Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan mu’tazilah berdasarkan pada akal.
4. Pelaku Dosa Besar
Asy’ariah menolak ajaran Mu’tazilah tentang al manzilah bainal manzilatain. Menurut Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, akan tetapi karena berbuat dosa ia menjadi fasik. Seandainya orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir, maka di dalam dirinya tidak akan didapati keimanan dan kekufuran. Hal semacam ini mustahil adanya. Oleh karena mustahil maka hukum bagi orang yang berbuat dosa besar itu bukan kafir tapi fasik.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
- Perbuatan Tuhan
Bagi kaum Asy’ari, faham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut, begitu juga dengan berbuat baik dan terbaik, beban diluar kemampuan manusia Asy’ari menegaskan dalam bukunya al-Luma’, bahwa Tuhan dapat meletakkan pada manusia beban yang tidak dapat dipikul.
- Perbuatan Manusia
Asy’ariah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Gambaran tentang hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dikemukakan dalam teorinya al-kasb yaitu berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan .
6. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
Menurut Asy’ariah Allah berkuasa dan berkehendak mutlak tanpa ada yang membatasi-Nya. Allah adalah pencipta segala-galamya dan Dialah Yang Maha Kuasa mengatur segala sesuatu, baik dan buruk. Perbuatan manusia termasuk diciptakan oleh Allah, bukan manusia. Manusia sebagai sarana bagi perwujudan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dalam berbuat.
Keadilan Tuhan mereka artikan mereka artikan sama dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan adil berarti ia merdeka berbuat segala sesuatu sebagai penguasa dan pemilik tunggal alam ini. Tanpa ada yang membatasinya.
7. Takdir dan Kebebasan Manusia
Asy’ariah mengakui daya manusia mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatannya, akan tetapi daya itu tidaklah dalam arti efektif. Dalam pandangan Asy’ariah perbuatan manusia telah diciptakan Tuhan semenjak azali dan manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam berkuasa dan berkehendak atas perbuatannya.
8. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim terutama Dzahiriyah yang berfatwa bahwa Allah dapat kita lihat dan dapat bersamanya di Arsy. Selain itu Al-Asy’ari juga tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat namun tidak dapat digambarkan.

2. Al-Maturidi
a. Riwayat Berdirinya
Al- Maturidiyah merupakan salah satu aliran sunni yang dinisbatkan kepada penggagasnya bernama Muhammad bin Muhammad bin Mahmud, yang dikenal di kalangan masyarakat dengan nama Abu Mansur al-Maturidy. Belum ada catatan yang dapat menunjukkan dengan pasti kapan tokoh ini lahir, tapi para ulama banyak yang berpendapat bahwa beliau lahir pada pertengahan abad ketiga di daerah Samarkand dan wafat pada tahun 333 H.. Abu Mansur merupakan salah seorang ulama yang mempelajari Usulul Fiqh hanafi. Pada masa itu terjadi pergolakan pemikiran khususnya seputar fiqih wa usuuhu khususnya antara Hanafiyah dan Syafi’iyah. Di saat badai perdebatan terjadi di antara para fuqaha dan muhadditsin, serta ulama-ulama mu’tazilah baik dalam bidang ilmu kalam ataupun fiqih dan usulnya pada kondisi itulah Abu Mansur Al Maturidy hidup. Beliau dikenal sebagai ulama yang beraliran madzhab Hanafi. Sebagaina disebutkan oleh kalangan ulama Hanafiah, bahwa Abu Mansur memiliki arus pemikiran teologi yang sama persis dengan Abu Hanifah.

b. Pemikiran dan doktrin-doktrin Al-Maturidi
1. Akal dan Wahyu
Golongan maturidiyah Samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya. Golongan maturidiyah Bukhara sependapat dengan kaum Asy’ariyah.
Dalam pemikiran teologinya al-Maturidi berdasarkan pada al-Quran dan akal, dalam hal ini sama dengan al-As’yari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh al-Asy’ari.
Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kemampuan tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimananya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk penciptaannya. Jika akal tidak memiliki akal untuk memikirkan hal tersebut tentunya Allah tidak akan memerinmtahkan untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun al-Maturidi berpendapat bahwa akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Abu Zahra mengatakan, untuk masalah baik dan buruk al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah dan larangan syariah hanya mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara baik dan buruk namun terkadang juga mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam posisi demikian wahyu diperlukan untuk dijadikan pendamping.
Selanjutnya Abu Zahra berpendapat, AL-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3 macam yaitu, Pertama, akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu. Kedua, akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu. Ketiga, akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
2. Pelaku dosa besar
Aliran maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
3. Sifat-sifat Tuhan
Dapat ditemukan persamaan antara al-Maturidi dan al-Asy’ari, seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashir dan sebagainya. Walaupun begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan al-Asy’ari. Menurut al-Maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama, baca: inheren) Dzat tanpa pemisah. Tampaknya paham al-Maturidi, tentang makna sifat
cenderung mendekati paham Mu'tazilah. Perbedaannya al-Maturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
4. Iman Dan Kufur
Iman adalah tashdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini
juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. yang penting tasdid dan ikrar.
5. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya adalah kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran
maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.
Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai Pencipta perbuatan manusia.
6. Keadilan dan Kehendak Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia. Pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Tampaknya aliran maturidiyah bukhara lebih dekat dengan asy’ariyah.
7. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Quran, antara lain dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun immaterial. Namun, melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
8. Kalam Tuhan
Mahmud Qasim menyebutkan bahwa Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi. Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedngkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadis). Al-Quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi tidak dapat diketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya tidak dapat diketahui, kecuali dengan suatu perantara.
9. Pengutusan rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandanngan mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar. 1986. Salaf; Islam dalam Masa Murni. Solo: Ramadhani
Badawi, Aburrahman. 1884. Madzhab al-Islamiyyin. Beirut: Dar Ilmu li Al-Malayin
Mukhlisin. 2009. Perbandingan Antara Aliran, http://muhlis.files.wordpress.com/2008/03/perbandingan-antar-aliran.pdf. (diakses, 27 Desember 2009)
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan. Jakarta: UI Press
Qadir, CA. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor
Razaq, Abdul dan Anwar, Rosihan. 2009. Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Bandung: Pustaka Setia
Wahyudi, Dedi. 2008. Sejarah Timbulnya Aliran Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah. http://podoluhur.blogspot.com/2008/01/website-sma-n-2-kebumen.html. (diakses, 27 Desember 2009)
Yahya, Madarik. 2009. Sejarah dan Pokok Ajaran Al-Asy’ari. http://madarikyahya.wordpress.com/2009/07/13/sejarah-dan-pokok-ajaran-al-asy%E2%80%99ari/. (diakses, 27 Desember 2009)

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

 

Bersama Membangun Bangsa. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com