Senin, 22 Maret 2010
Fatwa Haram Rokok Perlu dikaji Ulang
Kajian Ilmiah Forsifa FAI
Tersebarnya fatwa haram rokok yang difatwakan oleh PP. Muhammadiyah telah menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Berbagai macam kajian ulang dilakukan oleh para akademisi dan para ulama’ Fikih. Salah satunya Forum Studi Islam Fakultas Agama Islam (Forsifa). Bertempat di Taman Baca depan GKB 1 Forsifa menyelenggarakan kajian dengan tema “Menanggapi Fatwa Haram Rokok” (20/03).
Acara kajian ilmiyah yang dihadiri oleh 15 mahasiswa tersebut menghadirkan Ahda Bina Alfianto, dosen Syari’ah FAI. Mula-mula acara dimulai dengan pembacaan ayat suci al-Quran yang kemudian langsung dilanjutkan ke pembahasan masalah rokok ditinjau dari berbagai aspek. Diskusi ini disambut hangat oleh mahasiswa yang hadir.
Ahda menjelaskan, fatwa haram rokok perlu dikaji kembali. Pasalnya, banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Baik dari aspek ekonomi, social, maupun hukum fikih. Nasib para buruh yang bekerja di pabrik rokok juga harus dipertimbangkan. “Walaupun secara pribadi saya setuju bahwa rokok tersebut telah banyak membawa kerusakan pada fisik,” katanya.
Jika dilihat dari aspek hukum Islam, maka setidaknya ada dua macam sumber hukum; sumber hukum yang tidak dipersilisihkan yaitu al-Quran dan al-hadits, dan sumber hokum yang diperselisihkan yaitu qiyas, maslahah mursalah, al-urf, syar’un man qablana dan lainnya.
Menurut Ahda, dalam al-Quran dan al-Hadits tidak ada penjelasan tentang larangan merokok secara langsung. Karena permasalahan rokok memang merupakan permasalahan kontemporer. Tapi para sebagian ulama’ kontemporer menyatakan tidak boleh melihat banyak kerusakan yang diakibatkan oleh rokok. Sebagian yang lain hanya pada mengatkan makruh (dibenci).
Jika melihat fikih prioritas Yusuf Qardhawi, maka rokok bisa haram karena lebih banyak mudharat-nya dari pada mashlahat-nya. Tapi tingkat keharamannya tidak sama dengan haramnya khamer yang jelas-jelas diharamkan dalam al-Quran. “Meninggalkan mafasid (sesuatu yang merusak) lebih didahulukan dari pada mengambil mashaalih (kebaikan),” ungkap Ahda menjelaskan kaidah ushul-nya.
Pita Anjarsari setuju dengan pendapat Ahda. Menurutnya, sebelum mengharamkan secara menyeluruh perlu pertimbangan social ekonomi juga. “Tapi sebisa mungkin dijauhi karena dapat merusak kesehatan,” ujarnya. rjb
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar