Sabtu, 20 Maret 2010

MENINJAU KEMBALI PELAKSANAAN UN



Muhammad Rajab

Setiap tahun pendidikan kita menyelenggarakan evaluasi secara nasional atau yang kita kenal dengan Ujian Nasional (UN). Pada UN tersebut nasib kelulusan siswa-siswi kelas akhir ditentukan. Mereka dituntut untuk mencapai target nilai yang telah ditentukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Beberapa hari lagi kita akan menyelenggarakan UN secara menyeluruh. Segala persiapkan telah dilakukan baik oleh pihak atas (pemerintah) maupun pihak bawah (sekolah).
Yang menjadi pertanyaan adalah sudahkan pendidikan kita menyentuh aspek moralitas?. Jika kita lihat sekilas tentang pelaksanaan kegiatan evaluasi atau UN lebih mengedepankan aspek kognitif saja. Padahal menurut teori Bloom, ranah pendidikan ada tiga, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik. Maka sudah selayaknya pendidikan diarahkan untuk mencetak pemimpin yang mampu merubah diri sendiri dan masyarakatnya.
Mengapa yang menjadi standar utama dalam pelaksanaan UN hanya nilai angka semata?. Padahal, jika dilihat sejenak penilaian semacam ini hanya dapat menyentuh aspek intelektualitas (kognitif) semata. Hal ini menjadi sebuah ironi bagi pendidikan kita. Karena seakan-akan terjadi penyempitan makna pendidikan. Pendidikan yang seharusnya mencakup nilai-nilai universal baik bagi pribadi maupun bagi masyarakat menjadi terbatasi. Pendidikan hanya dilihat dari angka saja.
Paulo Freire mengatakan, bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya, bagaimana manusia dikembalikan kepada fitrah (suci). Berdasarkan teori Islam, bahwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah. Apakah fitrah tersebut akan berubah tergantung kepada kedua orang tua dan lingkunganna. Artinya proses pendidikan haruslah dapat mengembalikan keadaan manusia ke arah yang lebih baik secara moralitas dan aspek yang lain.
Sayangnya tujuan pendidikan semacam ini kurang dipahami oleh para guru dan siswa-siswi kita. Terbukti misalnya pada pelaksanaan UN. Para guru berusaha semaksimal mungkin untuk meluluskan siswanya, tak pandang apakah cara yang ditempuhnya salah atau benar yang terpenting dapat meluluskan siswanya. Maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi kecurangan-kecurangan di sekolah ketika pelaksanaan UN.
Kesalahpahaman akan tujuan pendidikan tersebut telah dapat membawa dampak yang signifikan terhadap peserta didik. Misalnya, ketika pengumuman kelulusan seorang siswa tidak lulus, mereka pingsan dan menjerit-jerit bahkan sampai masuk rumah sakit jiwa (RSJ). Belum lagi orang tua yang tidak mau menerima anaknya yang tidak lulus.
Mereka hanya memahami bahwa nilai pendidikan adalah nilai angka. Padahal sudah dijelaskan dalam UU SIkdisnas Tahun 2003 No 20 tentang tujuan pendidikan. Tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan .
Coba perhatiakan tujuan pendidikan di atas, manusia yang beriman dan berbudi pekerti luhur ditempatkan pada urutan yang lebih awal dari memiliki pengetahuan dan ketermapilan. Maka tidak salah apa yang dikatakan Ki Hajar Dewantara tentang trilogi pendidikan, bahwa untuk mewujudkan pendidikan yang bisa menghasilkan anak yang bermoral bisa dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Prof. Dr. Djohar, M.S. mengatakan bahwa pendidikan penting untuk ditempatkan sebagai bentuk investasi jangka panjang (long term investation) dan garda terdepan pembangunan bangsa. Pendidikan memberikan peluang untuk mentransformasikan nilai-nilai pendidikan agar penyelenggaraan pendidikan mampu menjadi problem solver terhadap problamatika yang dihadapi masyarakat. Atau secara sederhana disampaikan oleh Soenarja S.J., bahwa pendidikan itu mengarah pada pendewasaan pribadi sebagai manusia dan warga Negara.
UN yang selama ini kita jalankan terbukti telah banyak menyebabkan permasalahan-permasalahan baru. Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi terhadap problematika bangsa tidak tercapai. Malah yang terjadi sebaliknya, yakni pendidikan menambah masalah baru bagi kita. Sehingga beban bangsa menjadi bertambah berat.
Dengan demikian, sudah selayaknya para guru dan praktisi pendidikan lainnya mengkaji ulang tentang makna pendidikan. Jangan sampai pendidikan menjadi satu momok bagi para guru dan siswa. Perlu dipahami bahwa pendidikan bukan hanya untuk mendapatkan nilai angka terbaik, namun lebih dari itu pendidikan ditujukan untuk mendapatkan nilai moralitas yang tinggi dan menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat.
Tak cukup berhenti di situ, para guru dan orang tua juga perlu memahamkan kepada seluruh anak didiknya tentang hakikat pendidikan itu sendiri. Kesalahpahaman akan makna pendidikan akan berakibat fatal bagi peserta didik.
Hal ini juga sebagai bentuk antisipasi saat pelaksanaan UN. Karena tidak jarang saat UN terjadi kecurangan-kecurangan yang dapat merusak nilai-nilai pendidikan. Baik kecurangan yang dilakukan oleh guru, pengawas dan siswa sendiri. Sabab, tindakan-tindakan kecurangan tersebut telah merusak dan mengotori nilai-nilai mulia pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

 

Bersama Membangun Bangsa. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com